Jumat, 17 Desember 2010

Sebuah repost dari dosen saya, Prof.Dr.Wiratni




Saya berasal dari keluarga petani padi. Sejak jaman kakek buyut saya, kami bertanam padi. Bedanya adalah pada masa kakek buyut saya, bisnis bertani padi masih sangat menguntungkan, sementara sekarang, bisnis ini lebih terasa sebagai beban yang membuat jalan hidup jadi terseok-seok. Salah satu penyebab loyonya bisnis pertanian adalah harga pupuk yang semakin mencekik. Koran Kompas (7 September 2009) memuat pernyataan Sekretaris Menneg BUMN Said Didu bahwa jika subsidi pupuk tidak dinaikkan pada APBN 2010, maka harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi pada tahun 2010 bisa melonjak hingga 80 (DELAPAN PULUH) persen. Hampir dua kali lipat. Mengapa kita jadi begitu bergantung pada pupuk? Berabad-abad yang lalu sebelum ada pupuk sintetik, bagaimana mekanisme tanah menjaga keseimbangan kandungan nutrisinya?

Mungkin ‘darah petani’ dalam diri saya itulah yang membuat saya tertarik mempelajari liku-liku tanah. Saya suka membaca dan belajar sendiri secara informal tentang tanah. Tadinya saya pikir ini Cuma ‘hobby’ di luar bidang profesional saya. Tapi kemudian setelah makin banyak membaca dan berdiskusi dengan berbagai pihak, saya melihat bahwa sebetulnya ilmu teknik kimia saya bisa sangat banyak membantu dalam urusan pertanahan ini. Tulisan “Bumi Tua yang Kelelahan” ini adalah ‘makanan pembuka’ untuk beberapa tulisan lain yang akan lebih spesifik bercerita tentang kemungkinan-kemungkinan ‘operasi plastik’ untuk membuat tanah kita cantik kembali.

Alam memungkinkan tanaman 'tumbuh di batu', tapi itu sebelum campur tangan manusia (Foto karya Dr. Agus Prasetya, Direktur ChAIN Center, Jurusan Teknik Kimia FT UGM)

Tahun 2008, majalah National Geographic pernah mempublikasikan sebuah hasil survey yang sangat mengerikan, yaitu kenyataan bahwa rata-rata ketebalan lapisan tanah subur di seluruh dunia sekarang tinggal kurang-lebih 20-30 cm. Berabad-abad pemerkosaan bumi oleh manusia, atas nama peradaban, telah menyusutkan kedalaman lapisan tanah subur dari yang tadinya rata-rata 2 meter, menjadi ‘the negligible 20 cm’. Masih dari Majalah National Geographic, diberitakan bahwa para peneliti di International Soil Reference and Information Center (ISRIC) yang berkantor di Belanda menyatakan bahwa pada akhir abad ke-20 yang baru saja kita lewati, umat manusia telah merusak 7.5 JUTA mil persegi dari tanah yang tadinya merupakan lahan-lahan pertanian kaya. Seberapakah 7.5 JUTA mil persegi itu? Kira-kira seluas separuh benua Amerika dan terus meluas dari tahun ke tahun. Erosi, tanah longsor, pengerasan, polusi, dan sebagainya, membuat bumi tak bisa lagi memberikan makanan yang cukup bagi tanaman.

Di lain pihak jumlah manusia yang harus ditopang oleh kesuburan bumi semakin banyak. Menurut estimasi FAO, pada tahun 2030 akan ada 8.3 milyar manusia yang keluyuran di muka bumi ini. Seorang pakar geologi dari Universitas of Washington di Seattle, Dr. David R. Montgomery, menandaskan, “Kita mulai kehabisan tanah”. Tanah adalah sumber daya alam yang paling mendasar. Jika kita ‘kehabisan tanah’, uang yang berlimpah pun tidak akan bisa ‘membeli’ tanah. Berita baiknya adalah, tanah yang sudah rusak itu bisa direstorasi. Jadi sebelum berpikir untuk investasi beli tanah di bulan atau planet-planet tetangga, sebaiknya mulai dipikirkan dahulu upaya-upaya restorasi tanah-tanah yang rusak itu dulu saja.

Sebetulnya, bumi ini sudah diciptakan sepaket dengan berbagai ‘gadget-nya’ untuk menjaga kesetimbangan. Misalnya soal tanah ini. Tanah adalah semacam makelar, yang menghubungkan benda mati dan benda hidup. Benda matinya adalah unsur-unsur seperti karbon, oksigen, hidrogen, nitrogen, dan sebagainya, sementara benda hidup yang langsung bersinggungan dengannya adalah tanaman. Sebagai makelar, bagaimana caranya tanah ‘kulakan’ unsur-unsur mati tadi? Ternyata ada mekanisme yang juga sudah built-indi dalam tanah (segala puji hanya untuk Allah Sang Maha Pencipta), yang dijalankan oleh suatu populasi mikroorganisme. Jika diibaratkan tanah sebagai dapur, maka para makhluk mikro ini adalah koki-kokinya.

Ambil contoh nitrogen. Nitrogen adalah unsur yang paling diperlukan tanaman untuk hidup, tumbuh, berkembang biak, dan tentunya setor panenan kepada Yang Mulia umat manusia. Nitrogen kan buanyaaaak sekali di bumi ini ya? Kurang lebih 79% atmosfer bumi kan isinya nitrogen. Lha mbok situ tinggal ambil, gratis. Jadi bagaimana ini, nitrogen melimpah tapi kok sampai perlu dibuat ‘pupuk nitrogen’ segala, yang jadi sumber masalah itu tadi?

Fiksasi nitrogen oleh aktivitas mikrobia cyanobacteria di tanah

Ternyata, kebanyakan makhluk hidup, termasuk tanaman, hanya bisa memanfaatkan nitrogen yang berbentuk ion ammonium (NH4+). Nitrogen yang gratisan tadi bentuknya N2, gas nitrogen. Jadi walaupun jumlahnya melimpah ruah, N2ini tidak bisa langsung bermanfaat. Dia harus diubah dulu menjadi NH4+. Nah, pabrik-pabrik pupuk yang membuat urea, ZA, dll itu pada dasarnya adalah memproduksi ion-ion ammonium, dari berbagai sumber. Lantas sebelum jaman revolusi industri, siapa yang bertugas mengubah N2 menjadi NH4+ untuk keperluan pertanian? Sudah pasti jawabannya adalah para makhluk mikro, yang sudah diberi mandat khusus untuk itu (karena tidak semua makhluk mikro mampu menjalankan tugas mulia ini). Proses konversi N2 menjadi NH4+ berkat jasa para makhluk mikro ini disebut biological nitrogen fixation (fiksasi nitrogen secara biologis). Nanti saya akan cerita lebih banyak di posting yang lain tentang teman-teman kecil kita yang nama pop-nya adalah ‘nitrogen fixer’ ini.

Proses fiksasi nitrogen adalah proses yang berat, perlu energi besar. Jadi ketika manusia mulai harus memproduksi makanan dalam skala besar untuk melayani jumlah populasi yang semakin gila-gilaan, maka manusia jadi tidak sabar menunggu teman-teman mikro ‘nitrogen fixer’ yang kerjanya alon-alon kelakon ini. Jadilah kreativitas manusia, yang selalu menjadi bumbu lezat dalam keserakahan dan ambisi, melahirkan apa yang sekarang kita kenal sebagai ‘pupuk sintetis’ itu.

Teman-teman kecil kita yang sedang asyik melakukan fitrahnya memfiksasi nitrogen itu pun kaget setengah mati, waktu tiba-tiba mereka menyadari bahwa lingkungannya sudah sangat kaya dengan ion ammonium. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa yang namanya manusia itu memang jauh lebih pintar daripada mereka. Saya serius, ini sudah dibuktikan secara ilmiah (dalam kencan buta saya yang nomor 4), bahwa teman-teman kecil kita ini punya sensor untuk bisa merasakan berapa kadar ion ammonium di lingkungan mereka. Mereka melakukan sensor ini untuk memutuskan seberapa ion ammonium yang harus mereka produksi untuk menjaga kondisi ‘setimbang’, yang set point-nya sudah diberikan dalam manual dari Allah untuk mereka. Mereka tidak mengira bahwa ‘set point’ kita jauh lebih tinggi daripada ‘set point’ di buku manual mereka. Jadi mereka merasa GR bahwa mereka sudah memproduksi cukup ion ammonium dan ‘berpikir’, “Wah, bisa cuti panjang nih gue”. Begitulah, teman-teman kecil kita tidak lagi bekerja memfiksasi nitrogen dari atmosfer. Mereka cuma santai-santai main gaple. Saking lamanya mereka tidak pernah memfiksasi nitrogen dan sibuk bersenang-senang saja, akhirnya buku manual cara memfiksasi nitrogen pun hilang. Mereka lupa caranya. Mereka kehilangan fungsi istimewanya. Kitalah, umat manusia, yang telah mengebiri keistimewaan para nitrogen fixer ini.

Pupuk sintetis yang kita lempar ke ladang dan sawah kita itu, tidak semuanya dapat diserap oleh tanaman. Sebuah paper yang dimuat dalam Soil Science Society of America Journal di tahun 1986 tentang ‘kehilangan’ nitrogen dari pupuk yang diaplikasikan di permukaan tanah menyebutkan bahwa sesaat (berkisar antara 24-50 jam) setelah pupuk nitrogen (terutama urea) ditebarkan, maka sebagian besar ion ammonium akan berubah menjadi gas yang disebut ammonia dan segera lepas ke udara sebelum sempat diserap oleh tanaman. Kira-kira 30% dari jumlah pupuk yang diaplikasikan akan hilang sia-sia sebagai ammonia yang lepas ke udara. Ini belum semuanya, karena di lahan sawah basah, ada kehilangan-kehilangan lain, misalnya tertiup angin saat disebar, ‘larut’ ke air tanah, dan sebagainya. Secara kasar, kira-kira hanya 50% dari total jumlah pupuk yang diaplikasikan bisa betul-betul diserap oleh tanaman. Oleh karena itu, sudah menjadi praktek umum bahwa aplikasi pupuk sintetis kira-kira DUA KALI LIPAT dari jumlah yang sebetulnya diperlukan oleh tanaman. Banyak petani yang karena tidak mau ambil resiko panenannya kalah banyak dari tetangga sebelah, mengaplikasikan lebih banyak dari jumlah dua kali lipat itu. Singkatnya, efisiensi penggunaan pupuk sintetis sangat rendah. Hanya separuh yang betul-betul terserap, yang separuh lagi bertanggung jawab menyebabkan berbagai degradasi di lingkungan: tanah jadi keras, air tanah tercemar nitrat, amonia mencemari udara, dsb. Sudah buang-buang uang, merusak lingkungan lagi. Dan ‘lucu’-nya, hal ini berlangsung bertahun-tahun ……… kalau dianalogikan dengan dagelan, ini kategorinya satire …….. lucu tapi getir.

Tanah, pijakan kehidupan yang terabaikan (Foto karya Dr. Agus Prasetya, Direktur ChAIN Center, Jurusan Teknik Kimia FT UGM)

Tanah, karena kotor, gelap, jelek, dan berada di bawah telapak kaki kita, sering kita lupakan keberadaannya. Padahal mengabaikan tanah adalah bunuh diri pelan-pelan, karena semua kehidupan bersumber dari situ. Karena itulah, saya ingin berbagi cerita petualangan saya terkait soal pertanahan ini. Nanti saya lanjutkan di tulisan yang lain untuk obrolan yang lebih spesifik, tentang teman-teman kecil kita yang (dulunya) rajin membuat pupuk itu, tentang tanah spesial di Amazon (bukannya amazon.com jualan tanah, ini Amazon beneran yang ada di Brazil sana) yang sangat subur, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar