Kamis, 23 Desember 2010
Goresan perjuangan mahasiswa
Jumat, 17 Desember 2010
simpul cinta untuk bapak
Sebuah repost dari dosen saya, Prof.Dr.Wiratni
Saya berasal dari keluarga petani padi. Sejak jaman kakek buyut saya, kami bertanam padi. Bedanya adalah pada masa kakek buyut saya, bisnis bertani padi masih sangat menguntungkan, sementara sekarang, bisnis ini lebih terasa sebagai beban yang membuat jalan hidup jadi terseok-seok. Salah satu penyebab loyonya bisnis pertanian adalah harga pupuk yang semakin mencekik. Koran Kompas (7 September 2009) memuat pernyataan Sekretaris Menneg BUMN Said Didu bahwa jika subsidi pupuk tidak dinaikkan pada APBN 2010, maka harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi pada tahun 2010 bisa melonjak hingga 80 (DELAPAN PULUH) persen. Hampir dua kali lipat. Mengapa kita jadi begitu bergantung pada pupuk? Berabad-abad yang lalu sebelum ada pupuk sintetik, bagaimana mekanisme tanah menjaga keseimbangan kandungan nutrisinya?
Mungkin ‘darah petani’ dalam diri saya itulah yang membuat saya tertarik mempelajari liku-liku tanah. Saya suka membaca dan belajar sendiri secara informal tentang tanah. Tadinya saya pikir ini Cuma ‘hobby’ di luar bidang profesional saya. Tapi kemudian setelah makin banyak membaca dan berdiskusi dengan berbagai pihak, saya melihat bahwa sebetulnya ilmu teknik kimia saya bisa sangat banyak membantu dalam urusan pertanahan ini. Tulisan “Bumi Tua yang Kelelahan” ini adalah ‘makanan pembuka’ untuk beberapa tulisan lain yang akan lebih spesifik bercerita tentang kemungkinan-kemungkinan ‘operasi plastik’ untuk membuat tanah kita cantik kembali.
Tahun 2008, majalah National Geographic pernah mempublikasikan sebuah hasil survey yang sangat mengerikan, yaitu kenyataan bahwa rata-rata ketebalan lapisan tanah subur di seluruh dunia sekarang tinggal kurang-lebih 20-30 cm. Berabad-abad pemerkosaan bumi oleh manusia, atas nama peradaban, telah menyusutkan kedalaman lapisan tanah subur dari yang tadinya rata-rata 2 meter, menjadi ‘the negligible 20 cm’. Masih dari Majalah National Geographic, diberitakan bahwa para peneliti di International Soil Reference and Information Center (ISRIC) yang berkantor di Belanda menyatakan bahwa pada akhir abad ke-20 yang baru saja kita lewati, umat manusia telah merusak 7.5 JUTA mil persegi dari tanah yang tadinya merupakan lahan-lahan pertanian kaya. Seberapakah 7.5 JUTA mil persegi itu? Kira-kira seluas separuh benua Amerika dan terus meluas dari tahun ke tahun. Erosi, tanah longsor, pengerasan, polusi, dan sebagainya, membuat bumi tak bisa lagi memberikan makanan yang cukup bagi tanaman.
Di lain pihak jumlah manusia yang harus ditopang oleh kesuburan bumi semakin banyak. Menurut estimasi FAO, pada tahun 2030 akan ada 8.3 milyar manusia yang keluyuran di muka bumi ini. Seorang pakar geologi dari Universitas of Washington di Seattle, Dr. David R. Montgomery, menandaskan, “Kita mulai kehabisan tanah”. Tanah adalah sumber daya alam yang paling mendasar. Jika kita ‘kehabisan tanah’, uang yang berlimpah pun tidak akan bisa ‘membeli’ tanah. Berita baiknya adalah, tanah yang sudah rusak itu bisa direstorasi. Jadi sebelum berpikir untuk investasi beli tanah di bulan atau planet-planet tetangga, sebaiknya mulai dipikirkan dahulu upaya-upaya restorasi tanah-tanah yang rusak itu dulu saja.
Sebetulnya, bumi ini sudah diciptakan sepaket dengan berbagai ‘gadget-nya’ untuk menjaga kesetimbangan. Misalnya soal tanah ini. Tanah adalah semacam makelar, yang menghubungkan benda mati dan benda hidup. Benda matinya adalah unsur-unsur seperti karbon, oksigen, hidrogen, nitrogen, dan sebagainya, sementara benda hidup yang langsung bersinggungan dengannya adalah tanaman. Sebagai makelar, bagaimana caranya tanah ‘kulakan’ unsur-unsur mati tadi? Ternyata ada mekanisme yang juga sudah built-indi dalam tanah (segala puji hanya untuk Allah Sang Maha Pencipta), yang dijalankan oleh suatu populasi mikroorganisme. Jika diibaratkan tanah sebagai dapur, maka para makhluk mikro ini adalah koki-kokinya.
Ambil contoh nitrogen. Nitrogen adalah unsur yang paling diperlukan tanaman untuk hidup, tumbuh, berkembang biak, dan tentunya setor panenan kepada Yang Mulia umat manusia. Nitrogen kan buanyaaaak sekali di bumi ini ya? Kurang lebih 79% atmosfer bumi kan isinya nitrogen. Lha mbok situ tinggal ambil, gratis. Jadi bagaimana ini, nitrogen melimpah tapi kok sampai perlu dibuat ‘pupuk nitrogen’ segala, yang jadi sumber masalah itu tadi?
Ternyata, kebanyakan makhluk hidup, termasuk tanaman, hanya bisa memanfaatkan nitrogen yang berbentuk ion ammonium (NH4+). Nitrogen yang gratisan tadi bentuknya N2, gas nitrogen. Jadi walaupun jumlahnya melimpah ruah, N2ini tidak bisa langsung bermanfaat. Dia harus diubah dulu menjadi NH4+. Nah, pabrik-pabrik pupuk yang membuat urea, ZA, dll itu pada dasarnya adalah memproduksi ion-ion ammonium, dari berbagai sumber. Lantas sebelum jaman revolusi industri, siapa yang bertugas mengubah N2 menjadi NH4+ untuk keperluan pertanian? Sudah pasti jawabannya adalah para makhluk mikro, yang sudah diberi mandat khusus untuk itu (karena tidak semua makhluk mikro mampu menjalankan tugas mulia ini). Proses konversi N2 menjadi NH4+ berkat jasa para makhluk mikro ini disebut biological nitrogen fixation (fiksasi nitrogen secara biologis). Nanti saya akan cerita lebih banyak di posting yang lain tentang teman-teman kecil kita yang nama pop-nya adalah ‘nitrogen fixer’ ini.
Proses fiksasi nitrogen adalah proses yang berat, perlu energi besar. Jadi ketika manusia mulai harus memproduksi makanan dalam skala besar untuk melayani jumlah populasi yang semakin gila-gilaan, maka manusia jadi tidak sabar menunggu teman-teman mikro ‘nitrogen fixer’ yang kerjanya alon-alon kelakon ini. Jadilah kreativitas manusia, yang selalu menjadi bumbu lezat dalam keserakahan dan ambisi, melahirkan apa yang sekarang kita kenal sebagai ‘pupuk sintetis’ itu.
Teman-teman kecil kita yang sedang asyik melakukan fitrahnya memfiksasi nitrogen itu pun kaget setengah mati, waktu tiba-tiba mereka menyadari bahwa lingkungannya sudah sangat kaya dengan ion ammonium. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa yang namanya manusia itu memang jauh lebih pintar daripada mereka. Saya serius, ini sudah dibuktikan secara ilmiah (dalam kencan buta saya yang nomor 4), bahwa teman-teman kecil kita ini punya sensor untuk bisa merasakan berapa kadar ion ammonium di lingkungan mereka. Mereka melakukan sensor ini untuk memutuskan seberapa ion ammonium yang harus mereka produksi untuk menjaga kondisi ‘setimbang’, yang set point-nya sudah diberikan dalam manual dari Allah untuk mereka. Mereka tidak mengira bahwa ‘set point’ kita jauh lebih tinggi daripada ‘set point’ di buku manual mereka. Jadi mereka merasa GR bahwa mereka sudah memproduksi cukup ion ammonium dan ‘berpikir’, “Wah, bisa cuti panjang nih gue”. Begitulah, teman-teman kecil kita tidak lagi bekerja memfiksasi nitrogen dari atmosfer. Mereka cuma santai-santai main gaple. Saking lamanya mereka tidak pernah memfiksasi nitrogen dan sibuk bersenang-senang saja, akhirnya buku manual cara memfiksasi nitrogen pun hilang. Mereka lupa caranya. Mereka kehilangan fungsi istimewanya. Kitalah, umat manusia, yang telah mengebiri keistimewaan para nitrogen fixer ini.
Pupuk sintetis yang kita lempar ke ladang dan sawah kita itu, tidak semuanya dapat diserap oleh tanaman. Sebuah paper yang dimuat dalam Soil Science Society of America Journal di tahun 1986 tentang ‘kehilangan’ nitrogen dari pupuk yang diaplikasikan di permukaan tanah menyebutkan bahwa sesaat (berkisar antara 24-50 jam) setelah pupuk nitrogen (terutama urea) ditebarkan, maka sebagian besar ion ammonium akan berubah menjadi gas yang disebut ammonia dan segera lepas ke udara sebelum sempat diserap oleh tanaman. Kira-kira 30% dari jumlah pupuk yang diaplikasikan akan hilang sia-sia sebagai ammonia yang lepas ke udara. Ini belum semuanya, karena di lahan sawah basah, ada kehilangan-kehilangan lain, misalnya tertiup angin saat disebar, ‘larut’ ke air tanah, dan sebagainya. Secara kasar, kira-kira hanya 50% dari total jumlah pupuk yang diaplikasikan bisa betul-betul diserap oleh tanaman. Oleh karena itu, sudah menjadi praktek umum bahwa aplikasi pupuk sintetis kira-kira DUA KALI LIPAT dari jumlah yang sebetulnya diperlukan oleh tanaman. Banyak petani yang karena tidak mau ambil resiko panenannya kalah banyak dari tetangga sebelah, mengaplikasikan lebih banyak dari jumlah dua kali lipat itu. Singkatnya, efisiensi penggunaan pupuk sintetis sangat rendah. Hanya separuh yang betul-betul terserap, yang separuh lagi bertanggung jawab menyebabkan berbagai degradasi di lingkungan: tanah jadi keras, air tanah tercemar nitrat, amonia mencemari udara, dsb. Sudah buang-buang uang, merusak lingkungan lagi. Dan ‘lucu’-nya, hal ini berlangsung bertahun-tahun ……… kalau dianalogikan dengan dagelan, ini kategorinya satire …….. lucu tapi getir.
Tanah, karena kotor, gelap, jelek, dan berada di bawah telapak kaki kita, sering kita lupakan keberadaannya. Padahal mengabaikan tanah adalah bunuh diri pelan-pelan, karena semua kehidupan bersumber dari situ. Karena itulah, saya ingin berbagi cerita petualangan saya terkait soal pertanahan ini. Nanti saya lanjutkan di tulisan yang lain untuk obrolan yang lebih spesifik, tentang teman-teman kecil kita yang (dulunya) rajin membuat pupuk itu, tentang tanah spesial di Amazon (bukannya amazon.com jualan tanah, ini Amazon beneran yang ada di Brazil sana) yang sangat subur, dan sebagainya.
Rabu, 15 Desember 2010
Sebuah analogi tentang cinta
"ini cerita tentang hati, yang terkadang saya sulit sekali untuk mengontrolnya..."
Minggu, 05 Desember 2010
=)
Rabu, 01 Desember 2010
Iman sebagai fungsi waktu, sesederhanakah itu?
Beliau dulunya seorang penyamun yang menghadang orang-orang di daerah antara Abu Warda dan Sirjis. Dan sebab taubat beliau adalah karena beliau pernah terpikat dengan seorang wanita, maka tatkala beliau tengah memanjat tembok guna melaksanakan hasratnya terhadap wanita tersebut, tiba-tiba saja beliau mendengar seseorang membaca ayat:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَماَ نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتاَبَ مِنْ قَبْلُ فَطاَلَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَكَثِيْرٌ مِنْهُمْ فاَسِقُوْنَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang –orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna mengingat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang –orang yang sebelumnya telah turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan mayoritas mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Al Hadid: 16).
Maka tatkala mendengarnya beliau langsung berkata: “Tentu saja wahai Rabbku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).” Maka beliaupun kembali, dan pada malam itu ketika beliau tengah berlindung di balik reruntuhan bangunan, tiba-tiba saja di sana ada sekelompok orang yang sedang lewat. Sebagian mereka berkata: “Kita jalan terus,” dan sebagian yang lain berkata: “Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Al-Fudhail menghadang kita di jalan ini.” Maka beliaupun berkata: “Kemudian aku merenung dan berkata: ‘Aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan sebagian dari kaum muslimin di situ ketakutan kepadaku, dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku berhenti (dari kemaksiatan ini). Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitul Haram’.”
Do’a yang paling sering Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan adalah,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”
-sekian-
ayo belajar mtk
Senin, 29 November 2010
Mari Terbitkan Surga di Beranda Rumah Kita, Dinda
“Kurasakan air mata ini kembali menyuburkan bunga cinta di taman hati. Kupersembahkan indah mekarnya untukmu, dinda. Semerbaknya begitu harum, bukan?”
*****
>>Saat itu. . .
Aku sudah mengenalmu karena memang engkau adalah tetangga dekatku. Olehku, benar-benar tak terbayang bahwa engkau kan menjadi kekasih hatiku yang terajut oleh untaian tali pernikahan. Jujur terakui, wajahmu tak terlalu cantik. Namun begitu, sulit pula bagi lidahku untuk kututurkan bahwa engkau jelek rupa. Biasa saja. Bagimu, make-up tak begitu penting. Itu kuketahui karena engkau memang tak pernah memoleskannya di wajahmu.
>>Aku dan Keputusanku …
Engkau adalah wanita sederhana. Iya, wanita sederhana, pintar, tak banyak bicara. Engkaulah wanita yang bersahaja. Terlihat dewasa, pula. Kesederhanaan dan kesahajaan yang engkau peragakan lah yang justru terasa mengusik hati ini. Benar, tak bisa kupungkiri. Tak bisa kututupi. Akhirnya, nyaliku terpercik hebat lalu menghujankan sebuah keputusan. Kupilih engkau menjadi permaisuriku.
>>Sejenak Tentangmu …
Engkau, dinda, bukanlah keturunan orang berpangkat, juga bukan keturunan ningrat. Aku tak peduli. Raga yang terbalut kain-kain penutup aurat dan jiwa yang terpaut akhirat yang kuingini. Terlebihi terpolesi ilmu syar’i. Tekadku sudah bulat. Kupinang engkau dalam waktu dekat.
Engkau, dinda, saat itu baru lulus SMA. Tak kusangka kalau engkau menerima lamaranku dengan tangan terbuka. Bahkan untuk menerimaku, engkau pangkas keinginanmu mencicipi bangku kuliah. Semua gurumu begitu menyayangkan keputusanmu karena engkau termasuk siswa yang cerdas. Aku tak tahu, mengapa engkau memilihku menjadi pangeran yang akan menduduki singgasana hatimu, dinda. Sujud syukurku pada Allah ‘azzawajallah. Alhamdulillah.
>>Percikan Bahagia di Hari Pernikahan…
Dan hari itu pun kita menikah. Terbitlah kebahagiaan yang menyelimuti sanubari. Sempurnalah mekar indah pucuk asmara. Telah tiba saatnya biduk harus berlayar di samudera kehidupan. Terhempas sudah karang-karang penantian yang bertengger di taman hati.
Adakah jalinan yang indah selain jalinan dan untaian tali pernikahan?
Adakah letupan-letupan cinta yang lebih menenteramkan hati sepasang muda-mudi selain dalam ikatan ini?
Adakah hubungan yang lebih menabung kebaikan selain hubungan sah secara syar’i?
Bak sejuknya tanah gersang yang kembali subur setelah dentuman hujan, bak cerahnya dedaunan muda yang indah menghijau bersemi, bak syahdunya kicauan burung menyambut mentari di pagi nan cerah, begitulah pula datangnya kuncup bahagia di hati.
>>Aku Begitu Kagum. . .
Semua terasa mudah dan indah, dinda. Engkaupun merasakan hal yang sama, bukan? Saat itu, usiaku 25 tahun dan engkau baru 19 tahun. Memang masih terlalu muda untuk kalangan umum namun engkau berani mengambil keputusan itu. Engkau berani mengakhiri masa lajangmu di usia dini. Dan tahukah engkau, dinda, itu membuatku semakin kagum padamu.
Dinda tersayang.
Semenjak menikah hingga saat ini, kekagumanku padamu terpupuk subur. Kudapati engkau belum pernah mengeluh tentang keadaan yang kita alami bersama. Padahal engkau sendiri tahu bahwa penghasilanku tak seberapa, kadangkala tak seimbang antara pemasukan dan pengeluaran. Begitu sering kita harus mengikis beberapa keinginan karena kita tak sanggup menggapainya. Benar-benar tak pernah terlihat kristal bening menetes dari pelupuk matamu karena hal itu, dinda.
>>Tetesan Air Mata di Kasur Cinta ..
Masih teringatkah olehmu, dinda, saat pertama kali kita arungi bahtera ini di sebuah kontrakan mungil? Sama sekali kita tak punya apa-apa, bahkan alas tidur pun tak ada. Tetapi engkau benar-benar membuktikan kecerdikanmu, dinda.
Seonggok pakaian kita yang masih tersimpan dalam tas usang, kau keluarkan. Engkaupun melipatnya lalu engkau tumpuk dua hingga tiga helai. Engkau kemudian mengaturnya berjejeran. Di atas barisan baju itu, engkau bentangkan jilbab lebarmu. Jadilah kasur cinta ala istriku terkasih.
Sambil menyungging senyum manismu, engkau mempersilahkan aku mengempukkan diri di kasur cinta kita. Kutatap wajah ayumu, dinda. Kufokuskan mataku memandang hitam bola matamu sambil membalasmu dengan senyumku. Beberapa detik kemudian, kurasakan getaran hebat berkecamuk di hati. Dan, dan, dan berlinanglah air mata haruku. Aku cinta. Aku cinta. Aku mencintaimu, dinda.
>>Saatnya Engkau Melahirkan ..
Bersamamu, wahai permaisuri hatiku, tak terasa begitu cepat bergulirnya waktu. Dengan penuh kasih, selalu indah nan syahdu terlalui hari-hari, dinda. Kekurangan materi yang terkadang menghantui seakan-akan bukanlah beban manakala kita senantiasa menebalkan keikhlasan di hati. Denganmu, dinda, begitu banyak pelajaran yang kupetik.
Masih ingatkah ketika usia pernikahan kita beranjak setahun, saat tujuh bulan usia kehamilanmu, dinda? Aku begitu panik ketika engkau mengalami pendarahan. Tapi engkau begitu tenang tak gugup. Dari keningmu yang berkerut dan nafasmu yang tertahan, aku tahu engkau sedang menahan sakit yang luar biasa. Segera saja kubawa engkau ke bidan. Dari pemeriksaannya, itu adalah tanda-tanda bahwa engkau akan melahirkan.
Jam 12 malam, saat manusia tengah asyik terlelap, anak pertama kita lahir dengan prematur. Ah, betapa aku bahagia, dinda. Berulang kali, kukecup keningmu dengan kecupan sayang penuh mesra.
>>Segelas Air Putih..
Aku melihat wajahmu melemas. Engkau begitu lelah. Secara perlahan, kau bisiki aku dengan berkata:
“abii…, aku lapeer.”
Tersentak aku mendengarnya, dinda. Ya, seharian tadi engkau tak makan karena kesakitan sejak kemarin. Sore tadi aku hanya membeli sebungkus roti untukmu namun sudah kulahap habis karena tadi engkau tak nafsu makan. Kini tak ada roti atau jajanan lain. Mau beli, jam segini semua toko dan warung sudah tutup.
Alhamdulillah, ada segelas air putih yang dibawakan bidan. Kusuguhkan sendiri untukmu agar kemesraan kita tetap terjalin dan barangkali letihmu akan terkikis. Perlahan, engkau pun meneguknya, dinda. Tak ada tuntutan dan keluhan sedikit pun yang terlontar dari lisanmu. Engkau sungguh mengagumkan, dinda. Aku memuji Allah atas anugerah ini.
Kesahajaanmu benar-benar menggelombangkan air mataku. Melihat semburat bahagia terbit di wajahmu, kembali kurasakan tetesan bening bak kristal itu mengalir syahdu dari pelupuk mataku. Seiring menyusuri lembah hidungku, kurasakan air mata ini kembali menyuburkan bunga cinta di taman hati. Kupersembahkan indah mekarnya untukmu, dinda. Semerbaknya begitu harum, bukan?
Yah, bayi yang menjadi permata hati kita yan selamat dan nampak sehat telah membuatmu lupakan lapar dan dahaga.
>>Engkaulah Penyejuk Hati..
Tahun berganti dan engkau tak pernah berubah. Hampir sepuluh tahun kita bersama dalam bahtera yang penuh dengan kesederhanaan tetapi kita tak pernah lontarkan keluh. Engkau tak pernah tuntut dunia dariku, dinda. Tak pernah minta ini. Tak pernah minta itu. Beli pakaian saja mungkin tiga atau empat tahun sekali. Perhiasan? Tak pernah engkau mengenalnya. Bagimu, bisa memenuhi kebutuhan saja tanpa berhutang sudah lebih dari cukup.
Sungguh, dinda. Aku amat bahagia mengenalmu sosokmu. Aku memuji Allah atas anugerah ini. Engkaulah permata sekaligus belahan jiwa yang menyejukkan hati. Mata akan teduh memandangmu. Engkaulah sebenarnya perhiasan itu, dinda. Semoga engkau selalu tegar menemani hari-hariku hingga kita jelang negeri penuh cinta nan abadi di akhirat nanti.
***
sebuah repost
Selasa, 23 November 2010
Jangan Hanya Mimpi
Pertama : Selalu mengaitkan dengan masa lalu.
Kedua : Kita mempunyai ketakutan dan kecemasan.
Ketiga : Membiarkan orang lain mengintimidasi kita.
Kedua : Yakin dan Percaya 100% bahwa Anda bisa.
Ketiga : Lakukan saja sesuai dengan keinginan Anda.
Keempat : Selesaikan apa yang telah Anda mulai.
Kelima : Mulailah sekarang, saat ini juga.